Sabtu, 6 November 2010

Sabtu, 26 Jun 2010

''Tenggelamnya KAPAL Van Der Wijck''

inilah kisah yang benar yang dicipta oleh seorang ulama' indonesia.....dan aku rekod dalam nie buat tontonan semua terutama kepada kawan-kawanku hafizuddin,firdaus kobong,firdaus terengganu,afham muse,hanif anok tuk imam,E-jack jabo,sobri,karim,safwan roni,lazim,mamat,tolhah,akim curtis,ikram,taufiq,mirul safwan,izzat alauddin,mail,ariff,khairul dan ramai lagi.....dah tak ingat..(aku buat kerana nak lepas tension)alau banyak salah.. tu tolong tegur laa...biasa laa sebab baru nak belajar.....jangan marah ulak????

1

Anak Orang Terbuang

Matahari telah hampir masuk ke dalam peraduannya.Dengan amat
perlahan,menurutkan perintah dari alam ghaib,ia beransur turun,turun ke dasar laut yang tidak
kelihatan ranah tanah tepinya.Cahaya merah telah mulai terbentang di ufuk barat, dan
bayangnya tampak
mengindahkan wajah lautan yang tenang tak berombak,Di sana sini kelihatan layar
perahu-perahu
telah berkembang,putih dan sabar.Ke pantai kedengaran suara lloho gading atau Sio sayang,
yang dinyanyikan oleh anak-anak perahu orang Mandar itu,di tingkah oleh suara geseran rebab dan kecapi.Nun,agak di tengah,di tepi pagaran anggar kelihatan puncak dari sebuah kapal yang telah berpuluh tahun ditenggelamkan di sana.Dia seakan
-akan penjaga yang teguh,seakan-akan stesen dari syaitan dan hantu-hantu penghuni Pulau Laya-laya yang penuh dengan keghaiban itu.Konon khabarnya kalau ada orang yang akan mati hanyut atau mati terbunuh,kedengaranlah pekik dan ribut-ribut tengah malam di dalam kapal yang telah rosak itu!
Pada waktu senja demikian,kota Mengkasar kelihatan hidup.Kepanasan dan kepayahan orang bekerja siang,apabila telah petang diubat dengan menyaksikan matahari yang hendak terbenam dan mengecap hawa laut,lebih-lebih lagi bila suka pula pergi makan angin di jambatan,iaitu panora-ma yang sengaja dijorokkan di laut,berhampiran benteng Kompeni.Di benteng itulah,kira-kira 90 tahun yang lalu, Pangeran Diponegoro menghabiskan hari tuanya sebagai buangan politik.
Sebelah timur adalah tanah lapang Karibosi yang luas dan dipandang suci oleh penduduk Mengkasar.Menurut tahayul orang tua-tua,bilamana hari kiamat,Kara Eng Data akan pulang kembali,di tanah lapang Karibosi akan tumbuh tujuh batang beringin dan berdiri tujuh buah istana,persemayaman tujuh orang anak raja-raja,pengiring dari Kara Eng Data.Jauh di darat kelihatan berdiri dengan teguhnya Gunung Lompo Batang dan Bawa Kara Eng yang hijau nampak
dari jauh.
Dari jambatan besi itu akan kelihatanlah perkhawinan keindahan alam dengan teknik manusia.Ke laut nampak kecantikan lautan,ke darat kebesaran ALLAH dan ke sebelah kanan kelihatan pula anggar baru,anggar dari pelabuhan yang ketiga di Indonesia,sesudah Tanjung Perak dan Tanjung Priok.
Di tepi pantai,di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentuk Mengkasar,yang salah satu jendelanya menghadap ke laut.Meskipun matanya terpentang lebar,meskipun begitu asyik dia memperhatikan keindahan alam di lautan Mengkasar,rupanya fikirannya telah melayang jauh sekali,ke balik yang tak tampak di mata, dari lautan dunia pindah ke lautan khayal.
Ia teringat pesan ayahnya tatkala beliau akan menutup mata,ia teringat itu, meskipun dia masih lupa-lupa ingat.Ayahnya berpesan bahawa negerinya yang asal bukanlah Mengkasar, tetapi jauh di seberang lautan,yang lebih indah lagi dari negeri yang didiaminya sekarang. Di sanalah pendam perkuburan nenek moyangnya, di sanalah sasap jeraminya.
Jauh ... kata ayahnya,jauh benar negeri itu, jauh di balik lautan yang lebar,subur dan nyaman tanamannya.Ayahnya berkata,jika Mengkasar ada Gunung Lompo Batang dan Bawa Kara Eng, di kampungnya pun ada dua gunung yang bertuah pula, ialah Gunung Merapi dan Singgalang.Di Gunung Merapi ada talang perindu,di Singgalang ada naga hitam di dalam telaga di puncaknya.Jika disebut orang keindahan Bantimurung di Maros,di negerinya ada pula air terjun yang lebih tinggi.Masih terasa-rasa di fikirannya keindahan lagu serantih yang kerap kali di lagukan ayahnya tengah malam.Ia tak tahu benar apakah isi lagu itu,tetapi rayuannya sangat melekat dalam hatinya.Ada pantun-pantun ayahnya yang telah hafal olehnya lantaran dinyanyikan dengan nyanyian serantih yang merdu itu:

"Bukit putus Rimba Keluang,
direndam jagung dihangusi,
Hukum putus badan terbuang,
terkenang kampung kutangisi."

''Batang kapas nan rimbun daun,
urat terentang masuk padi.
Jika lepas laut Ketahun,
merantau panjang hanya lagi.''

Siapakah gerangan anak muda itu?
Dia dinamai ayahnya,Zainuddin.Sejak kecilnya telah telah dirundung oleh kemalangan ... Untuk mengetahui siapa dia,kita harus kembali kepada suatu kejadian di suatu negeri kecil dalam wilayah Batipuh Sapuluh Koto (Padang Panjang) kira-kira 30 tahun yang lalu.
Seorang anak muda bergelar Pendekar Sutan,kemenakan Datuk Mantari Labih, adalah Pendekar Sutan kepala waris yang tunggal dan harta peninggalan ibunya, kerana dia tak bersaudara perempuan.Menurut adat Minangkabau, amatlah malangnya seorang laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan, yang akan menjagai harta benda,sawah yang berjenjang,bandar buatan,lumbung berperang, rumah nan gadang. Setelah meninggal dunia ibunya, maka yang akan mengurus harta benda hanya tinggal ia berdua dengan mamaknya, Datuk Mantari Labih.Mamaknya itu, usahkan menukuk dan menambah,hanya pandai menghabiskan saja.Harta benda,baberapa tumpuk sawah, dan sebuah gong pusaka telah tergadai ke tangan orang lain.Kalau Pendekar Sutan mencuba hendak menjual atau menggadai pula,selalu mendapat bantahan,selalu tidak semuafakat dengan mamaknya itu.Sampai dia berkata:"Daripada engkau menghabiskan harta itu,lebih baik engkau hilang daripada negeri, saya lebih suka.''
Darah muda masih mengalir dalam badannya.Dia hendak kahwin, hendak berumahtangga,hendak melawan laga kawan-kawan sesama gadang.Tetapi selalu dapat halangan dari mamaknya sebab segala penghasilan sawah dan ladang diangkutnya ke rumah anaknya.Beberapa kali dia mencuba meminta supaya dia diizinkan menggadai,bukan saja mamaknya yang menghalangi,bahkan pihak kemenakan-kemenakan yang jauh,terutama pihak yang perempuan sangat menghalangi,sebab harta itu sudah mesti jatuh ke tangan mereka,menurut adat : ''Nan sehasta,nan sejengkal, dan setampok sebuah jari''.
Pada suatu hari, malang akan timbul, terjadilah pertengkaran di antara mamak dengan kemenakan.Pendekar Sutan berkeras hendak menggadaikan setumpak sawah,untuk belanjanya beristeri, kerana sudah besar dan dewasa belum juga dipanjat ''ijab kabul.''Mamaknya meradang dan berkata:"Kalau akan berbini mesti lebih dahulu menghabiskan harta tua, tentu habis segenap sawah di Minangkabau ini.Inilah anak muda yang tidak ada malu,selalu hendak menggadai,hendak mangagun."
Perkataan itu dikatakan di atas rumah besar,di hadapan mamak-mamak dan kemenakan yang lain.Pendekar Sutan naik darah lantaran malu,tetapi masih ditahannya.Dia berkata: "Mamak sendiri juga pernah menggadai,bukan untuk mengahwinkan kemenakan,tetapi untuk mengahwinkan anak mamak sendiri.Berapa tumpuk sawah dikerjakan oleh isteri mamak,kami tidak mendapat bahagian."
"Itu jangan disebut,"kata Datuk Mantari Labih."Itu kuasaku,saya mamak di sini,menghitamkan dan memutihkan kalian semuanya dan manggantung tinggi membuang jauh."
"Meskipun begitu,hukum zalim tak boleh dilakukan."
"Apa ? ... Engkau katakan saya zalim ?" kata Datuk Mantari Labih sambil melompat ke muka, dan menyentak kerisnya, tiba sekali di hadapan Pendekar Sutan.Malang akan timbul, sebelum dia sempat mempermainkan keris,pisau belati Pendekar Sutan telah lebih dahulu tertancap di lambung kirinya,mengenai jantungnya.
"Saya luka,tolong ...," cuma itu perkataan yang keluar dari mulut Datuk Mantari Labih.Dan dia tak dapat berkata-kata lagi.Seisi rumah riuh.
Beberapa orang mendekati Pendekar Sutan, tetapi mana yang mendekati,mana yang rebah.Sebab gelar Pendekar itu didapatnya dengan "keputusan",bukan sebarang gelar saja.
Orang serumah itu riuh,pekik yang perempuan itu lebih-lebih lagi. "Amuk-amuk," orang di kampung segera tahu tong-tong berbunyi.Penghulu Kepala lekas diberi tahu.Penghulu Suku tahu pula.Beberapa jam kemudian Pendekar Sutan ditangkap dan Datuk Mantari Labih mati tidak beberapa jam setelah tertikam.
Ketika Landrad bersidang di Padang Panjang,Pendekar Sutan mengaku terus terang atas kesalahannya,dia dibuang 15 tahun.
Ketika itu pembuangan Cilacap paling masyhur bagi orang hukuman Sumatera, laksana pembuangan Sawah Lunto bagi orang hukuman Tanah jawa dan Bugis.Ketika itu terjadi peperangan Bone yang masyhur.Serdadu-serdadu Jawa perlu membawa orang-orang rantai yang gagah berani untuk mengamankan daerah itu.Sebab Pendekar Sutan bergelar ''jago'' itulah sebabnya dia menginjakTanah Mengkasar.
Ape benarkah Pendekar Sutan seorang ''jago'',seorang kejam dan gagah berani yang tiada mengenal kasihan?Sebenarnya kejagoan dan kekejaman seorang itu bukanlah semuanya lantaran tabiat sejak kecil.Sebetulnya Pendekar Sutan hanya seorang yang bertabiat lemah lembut, lunak hati.Kalau bukan kerana lunaknya tidaklah akan selama itu dia menahan hati menghadapin kekerasan mamaknya.Tetapi,tangan yang terdorong bermula,dan pergaulan di dalam penjara yang bersabung nyawa, yang keselamatan diri bergantung kepada keberanian,memaksa dia melawan bunyi hati kecilnya,dia menjadi seorang yang gagah berani,disegani oleh orang-orang rantai yang lain.Di samping itu,dia seorang yang setia kepada kawan,pendiam,pemenung.Diam dan menungnya pun menambah ketakutan orang-orang yang telah kenal kepadanya.
Dia telah menyaksikan sendiri kejatuhan Bone, dia menyaksikan sendiri seketika Kerajaan Goa taklut dan menyaksikan pula kapal Zeven Provincien menembakkan meriamnya di pelabuhan Pare-Pare.
Ketika dia mulai dipenjarakan,umurnya baru kira-kira 20 tahun: Kebutalan di dalam penjara dia telah dapat bergaul dengan seorang asal Madura, yang telah lebih 40 tahun di dalam penjara,bernama Kismo,buangan seumur hidup.Rambutnya telah putih,tetapi meskipun demikian lama dia dalam penjara dan telah banyak negeri yang didatanginya,belum pernah dia melupakan jalan kesucian, rupanya dia banyak menaruh ilmu batin.Kepadanyalah Pendekar Sutan banyak berguru.
Setelah dipotong tiga tahun, habislah hukuman dijalankannya seketika dia berada di Mengkasar.Kalau dia mahu, tentu dia akan dikirim ke Minangkabau,tanah tumpah darahnya.Tetapi dia lebih suka tinggal di Mengkasar.Meskipun batinnya amat dingindan telah teragak hendak pulang,ditahannya,dilulurnya air matanya,biarlah Negeri Padang "dihitamkan" buat selama-lamanya,
Apa sebab demikian halnya ?
Saudara yang kandung tak ada,terutama saudara perempuan.Ibu tempat perlindungan orang laki-laki di negeri yang berbangsa kepada ibuitu telah lama pula meninggal.Meskipun dia akan terima orang dengan muka manis,yang tekandung di dalam hati mereka tentu lebih pahit.Sebab dia tak berwang,kepulangannya menimbulkan cemburu hati keluarga-keluarga dalam persukuan:

Kalau tidak ranggas di Tanjung,
cumanak ampaian kain,
kalau tidak emas dikandung,
dunsanak*1 jadi rang lain.

Tidak,dia tidak hendak pulang,meskipun hatinya meratap teragak pulang.Bukan sedikit hari 12 tahun,entahlah gedang pohon kelapa yang ditanamkan di muka halaman ibu, entah telah bersisik keris.Dia mesti hilang,mesti larat kerana kehilangannya seorang,belum sebagai kepecahan telur ayam sebuah bagi orang di kampung.
Sebab itu tinggallah dia di Mengkasar beberapa tahun lamanya,bermacam-macam usaha telah dicarinya,untuk mencukupkan bekal hidup sesuap pagi sesuap petang.Dia tinggal menumpang di rumah seorang tua,keturunan bangsa Melayu yang mula-mula membawa agama Islam ke Mengkasar kira-kira 400 tahun yang lalu.Budi pekerti Pendekar
Sutan amat menarik hatinya,kelakuannya,keberaniannya,dan kadang-kadang pandai berdukun,semuanya menimbulkan sukanya.Sehingga akhirnya dia diambil menjadi menantu, dikahwinkan dengan anaknya yang masih perawan, Daeng Habibah.
Tiga dan empat tahum dia bergaul dengan isteri yang setia itu, dia beroleh seorang anak laki-laki,anak tunggal,itulah dia, Zainuddin, yang bermenung di rumah bentuk Mengkasar,di jendela yang menghadap ke laut di Kampung Baru yang dikisahkan pada permulaan cerita ini.

2

Anak Yatim


"Terangkanlah,Mak,terangkanlah kembali riwayat lama itu,sangat inginku hendak mendengarnya,"ujar Zainuddin kepada Mak Base,orang tua yang telah bertahun-tahun mengasuhnya itu.
Meskipun sudah berulang-ulang dia menceritakan hal yang lama-lama itu kepada Zainuddin,dia belum juga puas.Tetapi kepuasannya kelihatan bilamana dia duduk menghadapi tempat sirihnya, bercengkerama dengan Zainuddin menerangkan hal ehwal yang telah lama terjadi.Menerangkan cerita itulah rupanya kesukaan hatinya.
"Ketika itu engkau masih amat kecil,"katanya memulai hikayatnya, "engkau masih merangkak-rangkak di lantai dan saya duduk di kalang hulu ibumu memasukkan ubat ke dalam mulutnya.Nafasnya sesak turun naik,dan hatinya rupanya sangat dukacita akan meninggalkan dunia yang fana ini.Ayahmu menangkupkan kepalanya ke bantal dekat tempat tidur ibumu.Saya sendiri berurai air mata,memikirkan bahawa engkau masih sangat kecil belum layak menerimaan cubaan yang seberat itu,umurmu baru sembilan bulan.
Tiba-tiba ibumu menggamitkan tangannya kepadaku, ataupun mendekat.Kepalaku diraihnya dan dibisikkannya ke telingaku - sebab suaranya telah lama hilang - berkata:'Mana Udin,Base!'
'Ini dia,Daeng,' ujarku, lalu engkau ku ambil.Ah,Zainuddin!Engkau masih tertawa saja waktu itu,tak engkau ketahui bahawa ibumu akan berangkat meninggalkan engkau buat selamanya,engkau tertawa dan melonjak-lonjak dalam pangkuanku.Aku bawa engkau ke mukanya.Maka dibarutnyalah seluruh badanmu dengan tangannya yang tinggal jangat pembalut tulang.Digamitnya pula ayahmu,ayahmu yang matanya telah balut itu pun mendekat pula.Dia berbisik ke telinga ayahmu: 'Jaga Zainuddin,Daeng.'
'Jangan engkau bersusah hati menempuh maut,Adinda. Tenang dan sabarlah!Zainuddin adalah tanggunganku.'
'Asuh dia baik-baik,Daeng,jadikan manusia yang berguna.Ah ... lanjutkan pelajarannya ke negeri Datuk neneknya sendiri.'
Dua titik air mata yang pantas mengalir di pipi ibumu,engkau ditengoknya juga tenang-tenang.Setelah air matanya diseka ayahmu,maka dia mengisyaratkan tangannya menyuruh membawa engkau agar jauh daripadanya,agar tenang hatinya menghadapi sakratulmaut.
bersambung.....cucu mullah Hassan Daud..Anak Abdul Amidin b Abdullah b Derahman